UU PENANGGULANGAN BENCANA: BENCANA BAGI HAK ASASI PARA KORBAN BENCANA?

UU PENANGGULANGAN BENCANA: BENCANA BAGI HAK ASASI PARA KORBAN BENCANA?

Oleh : Fatah Muria[1]

Peristiwa gempa bumi yang melanda Sumatera Barat dan puting beliung di beberapa daerah telah menambah rentetan musibah bencana di tanah air. Di sisi lain, lemahnya kontrol sistem atas berbagai aktivitas manusia telah berdampak bencana seperti kasus banjir di Jakarta, lumpur panas di Porong Sidoarjo, konflik bersenjata di Aceh dan Papua atau konflik sosial seperti di Poso, Ambon, Sampit. Yang jelas, dampak ekonomi, sosial dan politik akibat bencana bukan saja ditanggung negara, namun juga masyarakat luas khususnya korban.

Ironisnya, kita sendiri belum memiliki perangkat legal UU yang mengatur secara detail tentang urusan bencana baik menyangkut definisi bencana, substansi penanganan bencana sampai dengan mekanisme dan kontrol manajemen penanganan bencana. Penanganan bencana selama ini masih bersifat ad-hoc, tergantung keputusan politik yang rawan dalam hal accountability serta pendekatan charity (bantuan) yang lebih bersifat moral.

UU Penanggulangan Bencana (PB) yang disahkan DPR 29 Maret lalu merupakan upaya dari negara untuk mengisi kekosongan legal menyangkut bencana. UU ini sendiri menjadi prioritas bagi Pemerintah dan DPR agar ke depan kita segera memiliki perangkat hukum yang jelas mengenai penanganan bencana.

Tulisan ini mencoba untuk menelaah sejauh mana tingkat compliance (kesesuaian) substansi RUU Penanggulangan Bencana dan perspektif HAM khususnya pada penanganan bencana.

HAM dalam Situasi Bencana

Dibanding perspektif Pemerintah yang bersifat moral, perspektif HAM dalam urusan bencana memiliki perbedaan cukup fundamental. Situasi bencana alam (natural disaster) ataupun bencana karena manusia, tetap tidak bisa menghilangkan aspek pertanggungjawaban Negara. Hak asasi manusia dalam konteks bencana mengasumsikan para korban tetap harus dijamin haknya oleh Negara. Hak tersebut harus bisa diklaim ke service provider atau penyelenggara negara (address) dan negara harus menjamin mekanisme agar hak tersebut dalam diklaim jika tidak dipenuhi oleh negara (re-dress) dengan memberikan remedy (penyembuhan).

Tanpa jaminan HAM, penduduk yang terkena dampak bencana beresiko besar kehilangan hak untuk pulih dari kondisi seperti sebelum gempa dan rentan terdorong dalam situasi yang lebih buruk. Selain itu, banyak sekali upaya preventif dari bencana, sangat membuka peluang bagi penghilangan hak-hak dasar penduduk yang tinggal di daerah rawan bencana, khususnya hak atas kepemilikan (rumah, tanah), pekerjaan dan hak dasar lain.

Dalam Protecting Persons Affected by Natural Disasters (IASC Operational Guidelines on Human Rights and Natural Disasters) oleh IASC (Inter-Agency Security Committee)- yakni suatu institusi yang dibentuk oleh badan internasional baik dibawah naungan PBB dan NGO interasional yang bergerak pada isu humanitarian – telah disusun standar operasional urusan bencana dengan menggunakan standar instrumen HAM internasional, maupun instrumen internasional lain yang relevan, yakni hukum humanitarian (menyangkut bencana akibat konflik sosial/bersenjata) dan ketentuan soal Internally Displaced Person (IDP). Petunjuk pelaksanaan ini mencakup prinsip-prinsip penanganan bencana yakni aspek non diskriminasi bagi semua penduduk yang terkena dampak bencana, perlindungan atas HAM bagi mereka, pengadopsian standar HAM bagi setiap organisasi dalam operasi humanitarian. Prinsip lain berupa jaminan informasi bagi penduduk meliputi: tentang bencana alam dan tingkat bencana yang mereka hadapi, b.langkah-langkah mitigasi yang mungkin bisa dilakukan, c. informasi peringatan dini, d. Informasi terkait dengan bantuan humanitarian dan dukungan recovery.

Petunjuk operasional ini secara juga menetapkan hak-hak substantif yang harus dilindungi atau dipenuhi oleh Negara dalam penanganan bencana.

Hak hidup, termasuk jaminan fisik dan martabat (evakuasi, relokasi dan langkah-langkah penyelamatan lain, Perlindungan terhadap dampak bencana, perlindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan berbasis gender, perlindungan di shelter, perlindungan dari pengambilalihan tanah pribadi dan bentuk eksploitasi lain).

Hak atas perlindungan yang berhubungan dengan kebutuhan dasar (akses terhadap barang, pelayanan dan bantuan kemanusiaan, pemberian merata bantuan makanan, air, sanitasi, pakaian, shelter dan pelayanan kesehatan utama).

Perlindungan hak ekonomi, sosial budaya lainnya (pendidikan, property, perumahan, keterampilan hidup dan pekerjaan) dan terakhir perlindungan atas hak-hak sipil politik (pendataan, kebebasan untuk berpindah dan hak untuk kembali, berhubungan dengan keluarga yang hidup, hilang atau meninggal, kebebasan ekspresi, berkumpul dan berorganisasi dan beragama, hak memilih).

UU PB sebenarnya telah mengakomodir prinsip HAM (aspek non diskirminasi dan perlindungan atas hak hidup dan kelangsungan hidup) dalam draft pasal prinsip-prinsip penanggulangan bencana. namun, prinsip ini dikaburkan dengan tujuan dari pembuatan UU ini sendiri melalui peminimalisiran peran dan tanggung jawab negara dalam urusan bencana dengan dalih mempertahankan nilai-nilai lokal (gotong–royong, kesetiakawanan dan kedermawanan).

UU PB selanjutnya justru lebih menekankan aspek teknis penanggulangan bencana ketimbang memuat jaminan hak asasi manusia para korban atau penduduk yang rentan terkena dampak bencana.

Patut dicermati dari UU PB lagi adalah tentang definisi bencana “Bencana adalah suatu gangguan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat yang diakibatkan oleh faktor alam diantaranya bencana gempa bumi, tsunami, longsor, angin topan, banjir, letusan gunungapi, kekeringan, epidemi, dan wabah penyakit, bencana karena faktor nonalam diantaranya kebakaran dan gagal teknologi, dan bencana karena faktor manusia mencakup peristiwa kerusuhan sosial, teroris, dan kerusakan lingkungan, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, kerugian harta benda, dampak psikologis, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa manusia.”

Definisi bencana ini seakan membatasi bahwa satu-satunya penyebab bencana merupakan faktor alam, tanpa melihat aspek kecerobohan manusia. Banjir, tanah longsor, epidemi dan wabah penyakit tidak serta merta muncul menjadi bencana apabila sistem dan mekanisme terhadap penanganan lingkungan dilakukan secara benar. “Pelimpahan” faktor alam sebagai penyebab bencana ini kemudian menjadi pembenaran untuk melepaskan kewajiban negara dalam penanganan bencana.

Pasal-pasal pada Bab III dan IV UU PB menyebut eksplisit lembaga kemasyarakatan, lembaga usaha, palang merah Indonesia dan lembaga internasional sebagai pelaku penanggulangan bencana di samping pemerintah. Ini bisa diinterpretasikan negara bukanlah satu-satunya pihak yang berwenang dalam penanganan bencana. konsekuensi dari ini, maka negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terjadi kegagalan dalam proses penanganan bencana. mekanisme address-redress-remedy sebagai mekanisme penegakan HAM menjadi hilang sebagai konsekuensi “lepasnya’tanggung jawab negara.

Hilangnya kewajiban negara secara substantif membuat jaminan hak yang diberikan negara dalam tahapan penanganan bencana (Pengurangan resiko bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi serta penatalaksanaan bencana) seolah hanya monumen puisi pengakuan tentang hak asasi manusia tanpa dapat dinikmati para korban atau penduduk yang rentan terkena bencana. Dalam pasal 33 – 39 diatur secara jelas prioritas penanganan, standart minimum bagi pengungsi (tempat penampungan, sanitasi,bantuan pangan dan non pangan) maupun langkah-langkah penanganan darurat. Namun jaminan ini tidak diimbangi dengan mekanisme yang mengatur agar negara berkewajiban melakukan hal ini.

Pengalaman penulis saat terlibat dalam penanganan gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan Klaten 27 Mei 2006 mengungkapkan, para korban harus berjuang di bawah hujan lebat tanpa bantuan pangan dari Pemerintah kurang lebih 1 minggu. Sementara bantuan penampungan sementara dan non pangan (pakaian, perlengkapan tidur, masak dan kebersihan) bahkan lebih lama lagi. Akibatnya, banyak penduduk khususnya anak-anak, perempuan dan lansia mengalami berbagai macam penyakit. Banyak korban yang mengalami luka parah menjadi cacat permanen dikarenakan lambatnya penanganan medis oleh negara. Kegagalan-kegagalan ini praktis tidak bisa dituntut atau diklaim oleh para korban yang mengandung unsur pertanggungjawaban dari aparat penyelenggara negara.

Otoritas negara justru lebih kentara pada aspek pelaksanaan teknis dan koordinasi, termasuk menentukan daerah rawan bencana. Namun, tanpa jaminan HAM bagi penduduk yang terkena atau rentan terhadap bencana, hal ini justru berpotensi memunculkan kasus pelanggaran HAM baru. Sebagai contoh, negara berwenang untuk menghilangkan sebagian atau keseluruhan hak kepemilikan penduduk di daerah yang ditetapkan rawan bencana. program-program relokasi di daerah rawan bencana sebagian besar ditolak penduduk karena tidak ada jaminan akan retitusi (penggantian) atas hak kepemilikan dan properti, termasuk jaminan penghidupan. Kewenangan besar dalam menetapkan suatu wilayah sebagai daerah rawan bencana bisa disalahgunakan untuk menggusur penduduk yang tinggal di bantaran sungai atau menggambil alih lahan bagi kepentingan komersial.

Terdegradasinya jaminan HAM pada penduduk yang terkena atau rentan terhadap bencana dalam UU Penanggulangan Bencana dikhawatirkan berimplikasi luas pada kegagalan capaian perbaikan kehidupan mereka. Untuk itu, masyarakat sipil khususnya para korban perlu membangun kesadaran dan menempuh upaya-upaya politik hukum agar UU Penanggulangan Bencana compliance dengan standar HAM. Upaya yang masih mungkin adalah membuat gugatan di Mahkamah Konsititusi untuk melihat sejauh mana aspek penegakan HAM dalam UU Penanggulangan Bencana. Sudah saatnya para korban bencana di Aceh, Yogyakarta, Pangandaran, Jakarta, Papua dan penduduk rentan terhadap bencana dilindungi agar kehidupan mereka menjadi lebih baik, bukan dengan menempatkan mereka sebagai obyek yang hanya dipandang pantas menerima bantuan.

[1] Penulis adalah aktivis Hak Anak di Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN) Yogyakarta. Koordinator Divisi Riset dan Penelitian Koalisi HAM untuk Urusan Bencana, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Semarang.

http://www.prakarsa-rakyat.org/download/Buletin%20SADAR/sadar%2035%20tahun%20iii%202007.html

3 Responses to UU PENANGGULANGAN BENCANA: BENCANA BAGI HAK ASASI PARA KORBAN BENCANA?

  1. joy berkata:

    lowongan kerja pegawai negri perpajakan november 2007

  2. deni rusyniadi berkata:

    Perlindungan dari bencana alam harus menjadi hak masyarakat dan jadi kewajiban negara, sehingga perlu ada sangsi hukum ataupun gugatan bagi pemerintah bila diabaikannya hak-hak masyarakat.

  3. noe berkata:

    menarik…izin mengutip sebagian materi

Tinggalkan komentar